Senin, 02 Maret 2009

Dampak Perubahan Penutupan Lahan
Oleh : La Ode Asir
Abstrak
Perubahan penutupan lahan, dari lahan berhutan menjadi lahan-lahan pertanian serta usaha lainnya akibat kepentingan sesaat, dengan tidak mempertimbangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air akan menimbulkan dampak yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat maupun lingkungan secara luas. Munculnya lahan-lahan tidak produktif, serta menurunnya nilai ekonomi masyarakat sebagai salah satu penyebab dari kemiskinan yang pada akhirnya akan tercipta kelompok-kelompok masyarakat marjinal dan hal ini kemungkinan bisa menjadi pemicu ketidak stabilan keamanan negara dan bangsa yang kita cintai ini. Provinsi Gorontalo saat ini menjadikan jagung sebagai primadona “agropolitan”. Harganya stabil sehingga pamor jagung melejit setelah dicanangkan produksi jagung satu juta ton, meski sebenarnya lahan di provinsi baru ini tidak hanya cocok untuk tanaman jagung. Apakah mungkin Gorontalo terjebak pertanian monokultur? Dampak kebijakan ini menyebabkan akhir-akhir ini beberapa wilayah mengalami banjir, maupun kekeringan dalam waktu yang panjang.
Kata Kunci : kemiskinan, marjinal, agropolitan, monokultur.

Pendahuluan
Sumberdaya alam yang terkandung di dalam DAS antara lain adalah hutan, tanah, air,bahan mineral, flora, fauna serta jasa-jasa lingkungan. Keseluruhan sumberdaya alam tersebut merupakan modal bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ibarat bunda yang renta tertati-tati dalam perjalanannya menapaki sebuah impian yaitu hutan lestari belum juga terjangkau, terkadang diantara anak cucunya yang berkecimpung sebagai rimbawan membuat rencana seakan-akan mendukung impian sang bunda namun sesungguhnya impian itupun makin jauh saja dari realita.
Yang terjadi di bumi Nusantara yang tercinta ini adalah sumberdaya alam yang seringkali dimanfaatkan secara kurang bijaksana untuk kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek sosial serta mengabaikan aspek ekologi (kelestarian hutan). Tumpang tindih kebijakan menambah kompleksitas kepentingan berbagai pihak yang pada akhirnya hutan lestari impian bangsa, harapan kita semua masih jauh dari harapan.
Perubahan penutupan lahan, dari lahan berhutan menjadi lahan-lahan pertanian serta usaha lainnya akibat kepentingan sesaat, tanpa mempertimbangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air akan menimbulkan dampak yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat maupun lingkungan secara luas. Munculnya lahan-lahan tidak produktif, serta menurunnya nilai ekonomi masyarakat sebagai salah satu penyebab dari kemiskinan yang pada akhirnya akan tercipta kelompok-kelompok masyarakat marjinal dan hal ini kemungkinan bisa menjadi pemicu ketidak stabilan keamanan negara dan bangsa yang kita cintai ini.
Konversi hutan menjadi lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan fungsinya dalam mengatur sistem hidrologi DAS, utamanya pada daerah hulu (upper catchment) dimana akan terjadi daur air yang tidak seimbang, erosi, banjir dan perubahan iklim yang sangat menggangu kebiasaan kegiatan usahatani masyarakat hulu.
Sebagian besar DAS di Indonesia saat ini dalam kondisi yang mencemaskan. Banjir dan kekeringan yang melanda di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini, nampaknya akan menjadi peristiwa rutin di masa datang. Keduanya terjadi tidak lain sebagai konsekwensi logis dari modernisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam kehidupan masyarakat dari aspek sosial ekonomi. DAS Limboto yang merupakan salah satu DAS kritis dengan proritas penanganan dimana ekosistem DAS Limboto sedang mengalami proses kerusakan yang sangat parah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1999, DAS Limboto dikategorikan sebagai satu dari 60 DAS Prioritas I di Indonesia. Kondisi daerah tangkapan air di kawasan hulu (upper watershed) DAS Limboto ini telah banyak terjadi penggundulan hutan, dan praktek-praktek pengolahan tanah yang tak sesuai dengan kaidah yang benar. Terjadi perbedaan yang sangat mencolok air di sungai antara pada musim hujan dengan musin kemarau (fluktuasi yang ekstrim). Pada musim hujan, air berlimpah, namun saat musim kemarau terjadi kekurangan air. Perbedaan jumlah air yang ada di sungai pada musim hujan dan pada musim kemarau itu menunjukkan kualitas lingkungan hidup di DAS ini sudah sangat terganggu.
Jagung Sebagai Andalan Program “Agropolitan”
Perubahan penutupan lahan dari beberapa wilayah berhutan dan cukup terjal (30-45%) beberapa tahun terakhir ini tidak terlepas dari usaha yang begitu keras dalam melakukan usahatani jagung, cabe, tomat dan tanaman semusim lainnya sebagai jenis tanaman pokok oleh masyarakat Gorontalo secara turun temurun. Usahatani ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah, yang memilih jagung sebagai tanaman andalan program agropolitan, hal itu terjadi mengingat jagung memiliki keterkaitan budaya masyarakat. Obsesi pemerintah terhadap jagung telah menyuntik semangat baru bagi petani jagung yang pernah mengalami penurunan harga yang mencolok. Ketika itu, harga jagung cukup murah, hanya mencapai harga yang sangat rendah yaitu Rp.300.-/kg lebih jauh dari penghasilan yang dicapai oleh petani kelapa maupun petani tebu yaitu rata-rata Rp.750.000,- _ Rp.1.000.000,- / bulan.
Orang bertanam jagung di Gorontalo memang tak sebanyak masyarakat yang berusaha di bidang kelapa dan tebu. Kalau diperiksa dengan teliti angka-angka pertanian Gorontalo, jagung hanyalah tanaman alternatif dari sekian pilihan usahatani masyarakat Gorontalo. Tanaman kelapa masih tetap diprioritaskan sebagai tanaman primadona, Oleh karena di Gorontalo terdapat pabrik kemasan air kelapa yang bisa menghidupi rakyat lebih banyak yang telah bernilai ekspor ke sejumlah negara tetangga di kawasan ASEAN.
Adapun tanaman jagung, luas tanamannya di Gorontalo tahun 2002 hanya sekitar 20.864 ha jauh lebih kecil dibandingkan dengan areal penanaman kelapa dan padi. Meskipun diakui bahwa, keanekaragaman sumberdaya alam, pertanian, dan perkebunan merupakan peluang memajukan ekonomi daerah. Namun, keanekaragaman bisa berarti lain karena polarisasi tanaman tak menunjukkan keseriusan berproduksi. Sehingga kebijakan diarahkan untuk dapat fokus pada satu tanaman saja yaitu jagung untuk dikembangkan secara besar-besaran dan massal di seluruh bumi Gorontalo. Mengingat bahwa Indonesia sendiri sampai tahun 2003 masih melakukan impor jagung sebanyak 1,5 juta ton, sedangkan harga jagung di pasaran internasional berfluktuasi pada kisaran 108 sampai 115 dollar AS per ton.
Konsentrasi pemilihan jenis komoditas tertentu merupakan pola pertanian monokultur yang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Sisi positif, petani bisa fokus
pada salah satu jenis tanaman, tetapi dampak buruknya adalah bisa terjadinya
keadaan force majeur bila tanaman tak berproduksi karena diserang hama, sedangkan petani tak punya tanaman alternatif. Namun jagung saat ini sudah menjadi primadona “agropolitan” di Provinsi Gorontalo. Harganya terjaga, panen melimpah, produksi tak pernah putus.
Pamor jagung melejit pemerintah provinsi mencanangkan produksi jagung satu juta ton, meski sebenarnya lahan di provinsi baru ini tidak hanya cocok untuk tanaman jagung. Apakah mungkin Gorontalo terjebak pertanian monokultur?
Dalam mengejar laju pembangunan dan mensejahterakan masyarakat masing-masing daerah di Indonesia, maka UU, No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dalam mengelola sumberdaya alam yang ada merupakan peluang bagi pemerintah Gorontalo untuk melakukan kebijakan program “agropolitan” dengan sistem pertanian monokultur. Tanpa disadari bahwa sebahagian masyarakat di daerah hulu telah melakukan upaya-upaya usahatani dengan membuka daerah-daerah berhutan utamanya di daerah hulu dalam mengejar target-target pencapaian sukses jagung secara nasional dengan harapan ke depan bahwa Gorontalo akan menjadi sentra Jagung Nasional di Indonesia
Sebenarnya ada presepsi yang kurang tepat dari sebahagian pemerintah daerah, dalam menafsirkan UU otonomi tersebut, antara lain pada Pasal 10, yaitu : Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Kalimat berikutnya yang mengatakan "dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan", banyak yang kurang menyikapi dengan bijak.
Meskipun di bidang Kehutanan belum ada Peraturan Pemerintah mengenai pembagian kewenangan, dengan dasar Undang-undang No. 22 Tahun 1999 namun telah dilaksanakan wewenang atas pengurusan hutan. Pengusahaan hutan dalam rangka otonomi diartikan bahwa setiap hutan dengan segala fungsinya (produksi, lindung dan konservasi) dapat menghasilkan uang dengan tetap berwawasan lingkungan dan tanpa merubah banyak fungsi hutan. Akan tetapi, sayang sekali yang pertama dilakukan adalah pengeluaran ijin pemanfaatan hasil hutan tanpa terlebih dulu merancang program kehutanan menyeluruh sebagai panduan pengeluaran ijin tersebut.
Seharusnya untuk menekan peningkatan kerusakan hutan dimasing-masing daerah, para penyelenggara pemerintahan telah memiliki pola dan pengelolaan hutan kabupaten berdasarkan pedoman umum Departemen Kehutanan maupun aturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kemudian dalam aplikasinya mangacu pada pedoman pemanfaatan dan proses pengawasan terhadap pelaksanaan, terutama siapa yang bertanggung jawab untuk memantau seluruh aktivitas pengusaha, maupun masyarakat di lapangan.
Gorontalo mempunyai puluhan komoditas pertanian hortikultura yang potensial dikembangkan, sebut saja kelapa, cengkeh, padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar, serta tebu. Beragam komoditas dimiliki seperti menjanjikan masa depan. Tebu, misalnya, telah lama menjadi tanaman andalan Kabupaten Boalemo. Ratusan hektar tanaman tebu bisa dilihat di wilayah Paguyaman dan Tilamuta. Produksi tebu cukup baik karena petani bisa langsung memasarkan hasil tanamnya ke pabrik gula Rajawali yang sudah ada di Paguyaman sejak 20 tahun lalu. Setiap hektar tebu bisa menghasilkan enam ton tebu, sedangkan areal tebu mencapai 796 hektar. Kemudian dalam peta komoditas pertanian dan perkebunan Gorontalo tahun 2002, kelapa sangat signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Kelapa tumbuh hampir di seluruh kabupaten di provinsi itu. Luas areal kelapa mencapai 60.166 hektar, dengan jumlah produksi per tahun mencapai 70.166 ton. Dari kelapa yang diolah menjadi bungkil dan minyak kelapa kasar, Gorontalo meraup devisa 11,8 juta dollar Amerika Serikat. Sedangkan kalau kita melihat kebutuhan nasional akan jagung, Indonesia sendiri sampai tahun 2003 masih melakukan impor jagung sebanyak 1,5 juta ton, sedangkan harga jagung di pasaran internasional berfluktuasi pada kisaran 108 sampai 115 dollar AS per ton. Namun ketika itu, harga jagung cukup murah, petani menelantarkan tanamannya. Dapat dibayangkan harga jagung jauh lebih murah daripada sebatang rokok keretek, hanya Rp 300/kg. Sedangkan luas areal tanaman jagung di Gorontalo tahun 2002 hanya sekitar 20.864 jauh lebih kecil dibandingkan dengan areal penanaman kelapa dan padi.
Salah satu pertimbangan pemerintah tk. I, akhirnya memilih jagung sebagai tanaman andalan program agropolitan daerahnya, oleh karena jagung memiliki keterkaitan budaya masyarakat yang sangat kuat, karena jagung sejak dulu menjadi konsumsi/makanan pokok masyarakat turun menurun dan Gorontalo juga sebagai penghasil jagung sejak dulu. Lagu rakyat “Binte Biluhuta”, yang sangat populer sebagian syairnya menggambarkan masyarakat doyan makan jagung dan setiap rumah di sana tak mau ketinggalan makan jagung, ini merupakan salah satu potensi daerah yang cukup jelas untuk menunjukkan sejarah jagung di Gorontalo.

Kejadian Banjir
enomena banjr di Bumi penghasil jagung Gorontalo dalam bulan Desember 2007 ini kembali terjadi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini peristiwa banjir sedikit mengalami peningkatan kedahsyatannya, Hujan yang mengguyur salah satu kecamatan di Selatan Gorontalo, hanya satu jam guyuran hujan menyebabkan puluhan rumah warga Desa Padengo, Kecamatan Limboto Barat dan Desa Balahu Kecamatan Tibawa terendam air setinggi satu meter.
Menurut Gorontalo Post, 19 Desember 2007, 2059 ha lahan Sawah, Jagung, Hortikultura di kota dan kabupaten terendam akibat dari beberapa hari guyuran hujan mengguyur Bumi Gorontalo. Hal ini menimbulkan dampak yang sangat merugikan utamanya pada sektor pertanian. Berdasarkan data yang ada bahwa kerusakan tanaman padi, kabupaten Gorontalo terancam akan mengalami kerusakan terparah dengan luas areal yang terendam banjir seluas, 1.757 ha. (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo dalam PPLH, 2005). Genangan yang terluas terjadi di wilayah Kecamatan Batudaa dengan luas lahan yang rusak mencapai 857 ha dan kerusakan paling parah dengan kategori rusak berat terjadi di tiga Kecamatan yaitu : Pulubala, Tibawa, dan Bongomeme dengan luas kerusakan lahan 392,7 ha.
Kejadian banjir yang terjadi akhir-akhir ini diperkirakan oleh masyarakat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh sistem drainase yang tidak berfungsi optimal. Namun kenyataanya bukan hanya sekedar buruknya

sistem drainase di Gorontalo, akan tetapi kalau kita mau menengok fenomena pengalihan hutan yang telah beralih fungsi (dikonversi) sebagai wilayah pertanian, maka kita akan sadar bahwa persoalan banjir yang melanda beberapa wilayah di Gorontalo tidaklah sederhana permasalahannya. Penumpukan berbagai kepentingan di daerah hulu, sehingga menyebabkan perubahan penutupan lahan yang sangat ekstrim, hal ini dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat secara luas.
Beberapa daerah di hulu, masyarakatnya melakukan usaha tani pada daerah-daerah yang memiliki kelerengan yang terjal dan seharusnya lahan-lahan tersebut hanya untuk tanaman kayu-kayuan yang memiliki perakaran yang dalam dan dapat berperan sebagai penahan longsor dan sekaligus dapat berfungsi sebagai peresapan air ke dalam tanah. Pada kemiringan terjal (>45%) sebagian masyarakat melakukan usahatani intensif yang menyebabkan lapisan tanah subur dari waktu kewaktu mengalami penurunan kualitas, bersamaan terjadinya limpasan permukaan (run-off) yang cukup besar, ketika musim penghujan tiba. Kondisi ini menciptakan iklim mikro maupun makro menjadi terganggu, kualitas produksi dari usahatani masyarakat pun mengalami penurunan sehingga lahan yang diusahakan relatif hanya dalam tempo tiga tahun tidak lagi berproduksi secara maksimal. Terbukanya lahan-lahan miring di daerah hulu DAS Limboto merupakan sebuah pemandangan yang terkesan sebagai hamparan yang gersang dan dibeberapa tempat batu-batu gunung telah tumbuh menonjol ibarat pohon dan sangat berbahaya bagi penghunian masyarakat yang berada di bawahnya.
Ekosistem DAS Limboto Mengalami Penurunan Kualitas
Di dalam kawasan DAS Limboto terdapat Lebih kurang ada 23 anak sungai mengalir ke dalam danau Limboto. Empat sungai besar yang mengalir di DAS ini terdiri dari sungai Bionga, sungai Molalahu, sungai Pohu, dan sungai Meluupo. Dari seluruh sungai tersebut hanya Sungai Biongo yang mengalir sepanjang tahun. Sungai ini mengalir dari mata air di daerah pegunungan di sebelah utara danau. Sungai satu-satunya yang menjadi outlet danau Limboto adalah sungai Topudu. Sungai Topodu mengalir ke arah Teluk Tomini. Sebelum masuk ke Teluk Tomini sungai bersatu dengan sungai Bolonga dan masuk ke Sungai Bone, akhirnya ke teluk Tomini.
Sebagian areal lahan di DAS Limboto (48 %) memiliki kemiringan di atas 25 % (curam dan sangat curam). Titik tertinggi di DAS ini adalah kawasan pegunungan dengan ketinggian mencapai 2.100 meter. Curah hujan di DAS Limboto lebih dari 2000 mm. Sistem penguasaan lahan di DAS Limboto masih bersifat tradisional dan marginal. Tingkat legalitas kepemilikan lahan rendah demikian juga dengan akses terhadap sumberdaya alam. Sebagain besar penduduk (75 %) memiliki luas lahan kurang dari 0.25 hektar. Pada tahun 1932, rata-rata kedalaman Danau Limboto 30 meter dengan luas 7.000 Ha. Pada tahun 1955 kedalaman danau menurun menjadi 16 meter. Dan dalam tempo 30 tahun, (tahun 1961) rata-rata kedalaman Danau Limboto telah berkurang menjadi 10 meter dan luasanya menyusut menjadi 4.250 Ha. Pada tahun 1990 – 2004 kedalaman Danau Limboto tinggal rata-rata 2,5 meter dan luasnya yang tersisia tinggal 3.000 Ha. Pendangkalan ini selain dipicu oleh erosi, juga disebabkan oleh para nelayan yang selama bertahun-tahun membangun perangkap ikan yang menggunakan gundukan tanah dari darat serta batang-batang-batang pohon. Dalam kurun waktu 52 tahun Danau Limboto berkurang 4304 ha (62.60 %). Jika kita hitung per tahunnya, tingkat penyusutan danau mencapai 65.89 hektar. Diperkirakan, kalau tidak ada upaya perbaikan maka kemungkinan anak cucu kita tak dapat lagi melihat Danau Limboto atau lenyap dari muka bumi Gorontalo.
Pendangkalan danau menyebabkan munculnya tanah-tanah timbul di kawasan perairan danau. Tanah-tanah timbul ini sudah diokupasi dan di’kapling’ oleh masyarakat, seakan-akan dijadikan hak milik dan dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan. Hal ini dapat menimbulkan kerawanan sosial karena konflik antar masyarakat kemungkinan besar dapat terjadi dalam memperebutkan kawasan danau.
Di samping masalah okupasi terhadap tanah-tanah timbul tersebut, berbagai aktivitas masyarakat terus berlangsung di sekitar dan di dalam kawasan danau, hal ini semakin mengancam dan memperburuk kelestarian fungsi danau. Kualitas air Danau Limboto saat ini mengalami penurunan akibat limbah domestik, aktivitas budidaya yang dilakukan di dalam danau, sedimentasi akibat erosi di daerah hulu. Terjadi eutrofikasi sehingga banyak tumbuh tanaman pengganggu yang banyak menyerap air dan dan dapat mempercepat pendangkalan danau. Bebagai problem yang terjadi pada badan danau seperti eceng gondok tumbuh meluas. Masyarakat yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan racun (potas), bom ikan dan alat penangkap dalam skala besar merajalela sehingga mengakibatkan penurunan keragaman genetik ikan dan biota air lainnya serta menurunnya kualitas air danau.
Kerusakan dan pencemaran ekosistem danau ini menyebabkan beberapa jenis ikan lokal telah menurun populasinya seperti ikan hulu, payangga, gabus, udang dan sebagainya dan bahkan ada yang punah seperti mangaheto (ikan sejenis bobara warna merah), Botua (ikan jenis mujair berwarna putih tanpa sisik), Bulaloa (ikan jenis bandeng tulang sedikit berwarna putih bersisik), dan Boidelo (mirip ikan tuna bersisik dan berwarna abu-abu). Dulu bermacam-macam ikan air tawar dapat dijumpai di danau ini. Kini yang tersisa hanya mujair, nila, gabus atau sepat.
Daerah tangkapan air (catchment area) DAS Limboto telah mengalami degradasi yang serius. Banyak kegiatan pertanian di DAS Limboto merambah masuk dalam kawasan hutan lindung. Kegiatan lahan pertanian yang banyak berkembang adalah pertanian lahan kering untuk tegalan (palawija), kebun kelapa, kemiri dan sebagainya. Luas lahan pertanian tersebut mencapai 40.58 % dari luas wilayah DAS Limboto. Kegiatan peladangan berpindah, pembakaran lahan, penebangan liar dan pengembalaan liar marak dilakukan oleh berbagai pihak. Selanjutnya berdasarkan klasifikasi hutan, sebagian besar catchment area DAS Limboto Bone Bolango adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) atau Limited Production Forest. Namun telah dieksploitasi secara besar-besaran sejak Gorontalo masih bergabung dalam wilayah Sulawesi Utara. Luas hutan di DAS Limboto kini hanya 14.893 hektar (16.37 % dari luas DAS), luasan ini jauh di bawah persyaratan minimum (30 %) (JICA-Dephut, BP DAS Bone Bolango, LP2G 2003 dalam PLH, 2005).
Kerusakan hutan memperbesar tingkat erosi menyebabkan lahan-lahan yang ada menjadi kritis. Tingkat erosi di DAS Limboto mencapai angka 9.902.588,12 ton/tahun atau rata-rata 108.81 ton/ha/tahun. Sedimentasi di Danau Limboto sebesar 0.438 mm/tahun (BP DAS Bone Bolango, 2004). Luas lahan kritis mencapai angka 26.097 hektar lahan kritis terdiri dari 12.573 hektar lahan kritis di dalam kawasan hutan dan 13.524 ha di luar kawasan hutan (JICA-Dephut, BP DAS Bone Bolango, LP2G 2003 dalam
PPLH,2005).
Upaya Perbaikan
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka penyelamatan Danau Limboto, mulai dari konsep penyusunan perencanaan rehabilitasi hingga pembagunan fisik wilayah hulu hingga ke badan air Danau Limboto (hilir), namun hasilnya belum menampakkan hasil yang signifikan. Oleh karena itu konsep pembangunan yang berkelanjutan akan dilakukan (sustainable development) dalam konteks DAS dapat dicapai apabila perangkat kebijakan yang akan dilakukan tetap mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Arsyad, 1995) dan (Fahmuddin dkk, 2007);
• bahwa sistem pengelolaan DAS dan kegiatan konservasi tanah dan air di daerah hulu merupakan “alat” (tools) untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan.
• pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan prinsip konservasi tanah yang baik (dalam skala DAS), akan mempertahankan kualitas tanah dan air dan pada akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat.
• pentingnya pemahaman tentang keterkaitan biofisik antara daerah hulu-hilir DAS, sebagai dasar berpikir untuk menyusun program kerja induk pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air, yang dijadikan penjabaran penyusunan program tahunan dari intansi terkait sehingga menghasilkan produk kebijakan tentang pengelolaan DAS yang efektif.
• pehaman antara batas alamiah (ekologi) dan batas administrasi (politik) suatu DAS merupakan tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif.
• perlu adanya visi, misi, presepsi dan tujuan yang sama dari semua stakeholder yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS.
• perlu adanya data yang akurat melalui hasil monitoring dan evaluasi yang mampu memberikan gambaran mengenai pencapaian sasaran dan recana induk pengelolaan, baik dampak setempat (on-site direct impact) maupun dampak di hilir (off-site indirect impact) .
• peraturan-perundang-undangan antara sektoral dalam hal kewenangan, tugas, dan pelaksanaan lebih memihak kepada kepentingan pelestarian sumberdaya alam sehingga kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar instansi pemerintah yang terkait dalam urusan pengelolaan DAS menjadi jelas menuju pada kebijakan yang terintegrasi.
• sebagai bahan renungan, kitab suci Al-Quran telah banyak mencertikan tentang penciptaan alam, seperti (1) fenomena alam mempunyai regularitas keseimbangan yang koheren dan elegan, (2) alam tidak memeliki garansi untuk eksis dengan sendirinya dan (3) alam adalah penjelmaan dan kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya.

Daftar Pustaka

………………..2007 Gorontalo Post, Gorontalo.
Arsyad, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
BP DAS Bone Bolango, 2004. Rencana Teknik Lapangan – Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Limboto. Gorontalo.
Fahmuddin Agus Dkk, 2007. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Sumapapua, 2005. Ekositem Daerah Aliran Sungai Limboto. Makassar.

Genangan Berulang di Kota Manado (Bumi Nyiur Melambai)

GENANGAN BERULANG DI KOTA MANADO (BUMI NYIUR MELAMBAI)
Oleh : La Ode Asir*

Abstrak
Dampak dari berbagai aktivitas masyarakat di daerah hulu (Tondano maupun Bailang) yang telah melakukan perubahan penutupan lahan dari daerah berhutan menjadi kawasan pertanian, sementara di daerah hilir proses pendangkalan terjadi disebabkan tumpukan sampah dari masyarakat yang menghuni daerah bantaran sungai, sehingga akumulasi aliran air dari daerah hulu maupun besarnya curah hujan yang terjadi di daerah hilir tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai maupu drainase yang berada dalam wilayah kota Manado menyebabkan banjir/genangan yang menimbulkan korban harta maupun jiwa. Kota ini dilewati oleh kurang lebih 21 sungai (besar dan kecil) sangat berpotensi terjadinya banjr di daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang rendah. Sungai-sungai tersebut berasal dari dua sungai besar yaitu DAS Tondano dan DAS Bailang. Catchment area DAS Tondano (daerah hulu), yang merupakan kontributor yang sangat berpengaruh memliki lahan kritis adalah ±12,464.98 Ha atau 77,09 % dari total luasan. Sedangkan pada Catchment area DAS Bailang terdapat lahan kritis dengan kriteria agak kritis dan kritis seluas 1.105,08 Ha atau 100% dari total luasan catchment area. Banjir yang terjadi disebahagian kota Manado umumnya merupakan genangan akibat badan-badan sungai dan saluran-saluran buatan yang ada tidak mampu menampung debit air yang berasal dari hulu maupun besarnya curah hujan yangterjadi di daerah hilir.

I. PENDAHULUAN
Secara umum, definisi banjir menurut kamus ICID adalah : “A relatively high flow or stage, markedly higher than usual ; also the inundation of flow land which may result there from. A body of water, rising, swelling and overflowing land not usually thus covered. Also deluge; a fresher.
Genangan bisa terjadi karena daya tampung saluran alam ataupun saluran buatan tidak lagi dapat menampung aliran air hujan yang datang, sehingga air tersebut menggenangi daerah sekitarnya pada kedalaman tertentu dan sampai waktu tertentu atau karena air hujan yang jatuh tidak dapat mengalir ke saluran drainase yang ada.
Sebenarnya jika dilihat lebih dalam fenomena banjir tidak selamanya menimbulkan dampak negative, oleh karena pada daerah tertentu justru dapat mendapatkan keuntungan antara lain dapat mendatangkan humus pada daerah-daerah tertentu, sedangkan pada daerah banjir dapat dilakukan colmatage, yaitu cara meninggikan permukaan tanah dengan mengaliri sedimen pada daerah rendah tersebut. Pada umumnya banjir mendatangkan masalah besar jika daerah banjir merupakan pemukiman atau daerah-daerah yang telah dilakukan budidaya oleh manusia.
Di kota Manado jika terjadi hujan lebat di daerah Tondano yang terletak pada daerah ketinggian, menyebabkan tergenangnya beberapa daerah yang rendah. Sebut saja pada pada tanggal 3 Desember 2000, diterjang banjir bandang yang tergolong dasyat, dan terakhir pada bulan Juli-Agustus tahun 2008, di daerah hilir Kecamatan Singkil dan sekitarnya, sungai yang membelah daerah kota Manado Utara meluap yang menyebabkan masyarakat di daerah bantaran sungai kehilangan harta hingga puluhan juta rupiah, bahkan sampai menelan korban jiwa. Hal ini merupakan dampak dari berbagai aktivitas masyarakat di daerah hulu yang telah melakukan pembukaan daerah-daerah berhutan menjadi kawasan pertanian. Sementara di daerah hilir proses pendangkalan terjadi disebabkan tumpukan sampah dari masyarakat yang menghuni daerah bantaran sungai, sehingga akumulasi aliran air dari daerah hulu tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang berada dalam wilayah kota Manado.
II. Proses Banjir dan Masalahnya.
Banjir terjadi akibat turunnya hujan di permukaan bumi dengan basaran (intensitas) tertentu maupun lamanya (duration). Air hujan tersebut sebagian akan meresap ke dalam tanah dalam bentuk infiltrasi sedangkan selebihnya akan mengalir di atas permukaan tanah dalam bentuk aliran permukaan. Aliran permukaan ini akan menyatu di saluran alam/buatan menjadi aliran sungai (stream flow). Jika akumulasi dari aliran permukaan tersebut melebihi daya tampung dari saluran yang ada maka air hujan tersebut akan melimpas dan menggenangi areal di sekitar sungai. Bajir seperti ini biasa disebut juga banjir luapan. Kalau genangan yang terjadi bukan disebabkan oleh karena meluapnya sungai yang ada akan tetapi disebabkan oleh akibat meluapnya sungai karena aliran permukaan itdak dapat secepatnya mencapai saluran pembuang akibat saluran drainase yang tersumbat/menyempit maka kejadian banjir seperti ini disebut genangan.
Faktor yang mempengaruhi limpasan (run-off) dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berhubungan dengan curah hujan dan factor yang berhubungan dengan daerah tangkapan air. Lama curah hujan, intensitas hujan dan distribusi hujan akan mempengaruhi laju dan volume limpasan.
Total limpasan dari hujan berhubungan dengan lama hujan pada intensitas tertentu. Infiltrasi akan berkurang dengan makin lamanya hujan. Jadi suatu kejadian hujan dalam watu yang singkat bisa saja tidak menghasilkan limpasan, sedangkan hujan dengan intensitas yang sama dalam waktu yang lama akan menghasilkan limpasan. Selain itu intensitas hujan juga mempengaruhi laju limpasan. Suatu kejadian hujan dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat akan mengakibatkan laju limpasan yang besar dibanding dengan hujan yang sedang dalam waktu yang lebih panjang walau jumlah volume hujan tersebut sama. Umumnya laju dan volume limpasan akan maksimum jika hujan yang jatuh, terjadinya merata di seluruh daerah tangkapan air. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa hujan lebat di suatu bagian daerah tangkapan air akan menyebabkan limpasan yang besar dibandingkan dengan hujan yang sedang turun secara merata di seluruh daerah tangkapan air.
Beberapa faktor daerah tangkapan air yang mempengaruhi limpasan adalah ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian. Laju limpasan atau volume limpasan suatu daerah tangkapan air akan meningkat bila ukuran limpasan daerah tangkapan air meningkat, namun laju dan volume limpasan persatuan luas daerah tangkapan air berkurang bila luas limpasan bertambah. Daerah tangkapan air yang panjang dan sempit, cenderung memiliki laju limpasan lebih kecil dibanding daerah tangkapan air yang lebar dengan ukuran yang sama. Limpasan pada daerah yang sempit dan memanjang mempunyai waktu konsentrasi yang lebih lambat dibandingkan dengan daerah tangkapan yang lebar. Bentuk topografi seperti lereng daerah hulu, derajat perkembangan dan gradasi saluran-saluran, luas dan jumlah areal cekungan akan mempengaruhi volume dan laju limpasan. Daerah tangkapan air yang datar atau daerah cekungan tanpa ada jaringan drainase akan memiliki limpasan yang lebih rendah dibanding dengan daerah yang curam dengan pola drainase yang jelas. Kondisi geologis, vegetasi dan budidaya pertanian akan mempengaruhi infiltrasi sehingga akan mempengaruhi limpasan (Sri Margianto,2002).

III. Kondisi Hutan Dalam Wilayah Manado
Kota Manado yang merupakan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara, secara geografis terletak diantara 1o26’ – 1o40’ LU dan 124o48’ – 124o54’ BT.
Luas Kota Manado sekitar 150,02 Km2. Secara administratif Kota Manado terbagi dalam sembilan wilayah kecamatan dan delapan puluh tujuh kelurahan/desa.
Kota Manado memiliki batas wilayah :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Wori dan Teluk Manado
b. Sebelah Timur : Kecamatan Dimembe
c. Sebelah Selatan : Kecamatan Pineleng
d. Sebelah Barat : Teluk Manado/Laut Sulawesi
Curah hujan beragam, pada tahun 2003 berkisar antara 69 mm (Juli) sampai 628 mm (Desember).
Kota Manado memiliki keadaan topografi yang berombak sebesar 40% dan dataran landai sebesar 38% luas wilayah. Sisanya dalam bergelombang, berbukit dan bergunung.
Ketinggian dari permukaan laut secara keseluruhan sebesar 94,53 % dari luas wilayah terletak pada 0–240 m d.p.l. Terdapat 2 gunung di Kota Manado, keduanya terletak di Kecamatan Bunaken, yaitu Gunung Manado Tua (± 655 m) dan Gunung Tumpa (± 610 m).
Dalam analisis (BPDAS Tondano,2005), tutupan lahan diklasifikasi berdasarkan nilai kerapatan
tajuk masing-masing tutupan lahan menjadi 5 kelas, yaitu:
Kerapatan Tajuk Kelas
• > 80 % Sangat Baik
• 61 - 80 % Baik
• 41 - 60 % Sedang
• 21 - 40 % Buruk
• < 20% Sangat Buruk
Berdasarkan kondisi tutupan lahan dan klasifikasi kelas kerapatan menurut BPDAS.2005, bahwa pada kawasan budidaya pertanian didominasi areal dengan kerapatan tajuk buruk seluas 5.792 ha, diikuti dengan kerapatan tajuk sangat buruk seluas 2.529 ha. Kerapatan tajuk sedang seluas 1.814 ha.
Pada kawasan hutan lindung didominasi areal dengan kerapatan tajuk sedang seluas 1.600 ha, diikuti dengan kerapatan tajuk buruk seluas 648 ha, kerapatan tajuk sangat buruk seluas 474 ha.
Masih terdapat kondisi tutupan lahan dengan kerapatan tajuk sangat baik seluas 186 ha dan kerapatan tajuk baik seluas 390 ha. Kondisi tutupan lahan dengan kerapatan tajuk buruk dan sangat buruk, dimungkinkan penyebabnya oleh adanya okupasi hutan lindung oleh masyarakat pada kawasan hutan lindung G. Tumpa.
Demikian pula kerusakan yang terjadi di sekitar DAS Tonado, yang merupakan daerah kontibutor limpasan kota Manado. Kerusakan ini akibat perambahan hutan yang tidak dapat dihindari, di samping itu karena peningkatan kebutuhan bahan baku hasil hutan kayu dan non kayu untuk industri yang tidak diiringi oleh peningkatan produksi hutan alam maupun hutan tanaman sehingga cukup banyak lahan kritis dan lahan tidur, yang sangat mempengaruhi kejadian banjir di kota Manado.
Kecerobohan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan hutan yang disebabkan oleh perambahan hutan karena sempitnya lahan garapan pertanian, maupun kurangnya penerapan teknik konservasi tanah yang baik seperti bercocok tanam pada lahan miring, sehingga meningkatkan proses aliran permukaan di musim penghujan. Kota Manado yang dilewati oleh kurang lebih 21 sungai (besar dan kecil) sangat berpotensi terjadinya banjr di daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang rendah.
Penutupan lahan berupa pemukiman di kota Manado menambah tekanan terhadap lingkungan, khususnya masalah sampah rumah tangga dan industri. Kurangnya daerah resapan di perkotaan akan menimbulkan peluang terjadinya banjir, selain kondisi drainase yang buruk. Adanya pemukiman yang berada di bantaran sungai membuat daerah ini rawan dengan banjir.
Adanya daerah lahan kritis juga merupakan salah satu faktor penyebab banjir. Lahan kritis diasumsikan sebagai lahan yang telah terdegradasi sehingga produktivitas fungsinya sebagai fungsi produksi dan pengatur tata air menurun. Menurunnya fungsi tersebut sebagai akibat dari penggunaan lahan yang kurang memperhatikan konservasi tanah sehingga menimbulkan erosi, longsor dan sebagainya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air, dan lingkungan. Jika dilihat dari peta kekritisan lahan di catchment area sungai Tondano (daerah hulu), jumlah dari areal dengan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis adalah ±12,464.98 Ha atau 77,09 % dari total luasan. Luas lahan kritis banyak terdapat di areal pemukiman yaitu di hilir. Sedangkan di hulu terdapat di Kumelembuay, Rurukan, Suluan, Airmadidi, dan Tanggari.
Berdasarkan peta penutupan hutan tahun 2000 dan pantauan citra satelit tahun 2002, banyak ditemui pertanian lahan kering, perkebunan, semak belukar, kebun campuran di daerah hulu namun berdasarkan Peta Kawasan Hutan, lokasi tersebut tidak masuk dalam kawasan hutan melainkan pada areal penggunaan lain. Di daerah hilir, penutupan lahan di kedua catchment area ini yakni pada DAS Bailang terdapat lahan kritis dengan kriteria agak kritis dan kritis seluas 1.105,08 Ha atau 100% dari total luasan catchment area. Sedangkan luas lahan kritis di DAS Tondano terdiri atas sangat Kritis 971.26 ha, kritis 3,755.67 ha dan agak Kritis 7,738.06 ha, potensial Kritis 3,705.26 ha.
IV. Kejadian Genangan Yang Merendam Sebahagian Kota Manado
Pada bulan Februari 2005 terdapat beberapa titik lokasi banjir di Kota Manado, diantaranya adalah desa Bailang Kecamatan Tuminting, dan Paaldua atas Kecamatan Wenang. Lokasi banjir di desa Bailang termasuk ke dalam Sub DAS Talawaan, sedangkan di Paal dua termasuk DAS Tondano.
Hal yang sama terjadi pada bulan Mei, 2008 dimana hujan yang terus mengguyur Manado dan sekitarnya sepanjang hari, menyebabkan air Sungai Tondano meluap. Lokasi yang paling parah terkena banjir adalah Kelurahan Komo Luar, Kampung Ternate Tanjung, Kampung Argentina, Karame dan Mahakam
Untuk titik rawan banjir di Manado (bukan disebabkan oleh oleh satu-satunya berasal dari luapan DAS Tondano, tapi luapan air hujan), sesuai informasi dari Dinas Sumber Daya Air (SDA) Sulut, tercatat ada 14 titik rawan. Dan ini, rata-rata disebabkan mampetnya drainase kota. Akibatnya air di saluran (parit) meluap hingga ke jalan dan pemukiman penduduk . Genagan di wilayah perkotaan pada umumnya disebabkan oleh buruknya saluran air akibat menyempitnya badan sungai serta adanya aktivitas masyarakat disekitarnya membuat kerambah ikan air tawar dan kurangnya daerah resapan. Sehingga, pada saat terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi akan mengakibatkan meluapnya air pada badan sungai dan saluran drainase yang mampet.
Deliniasi Catchment area dan luasannya berdasarkan peta topografi dan hidrologi, DAS Tondano dapat dibagi menjadi 3 catchment area besar yaitu catchment area sungai Tondano, sungai Tikala dan Danau Tondano. Untuk kasus banjir di Paal Dua, merupakan bagian dari catchment area sungai Tondano. Deliniasi catchment area sungai Tondano menunjukkan luasan sebesar ±16.170,24 Ha.
Kasus banjir di daerah Bailang, menunjukkan lokasi tersebut berada pada catchment area sungai Bailang. Sungai Bailang memiliki luasan sebesar ±1.105,08 Ha. Bentuk Catchment areanya termasuk bentuk melebar. Sungai Tondano memiliki cacthment area yang melebar sampai di Airmadidi dan memanjang sampai di Rurukan. Catchment area sungai Bailang memiliki bentuk yang melebar sampai pada Kasorotan, Parigitujuh, dan Paal Lima.

Pada bentuk catchment area yang melebar, air larian akan menuju hilir dengan laju yang tinggi. Hal ini terjadi karena, air terkonsentrasi dengan cepat dari titik tempat jatuhnya air hujan menuju titik outlet. Dengan demikian debit puncak dan volumenya meningkat. Apabila hujan terjadi menuju hilir, pada kondisi catchment area ini menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawah catchment area dan pada saat yang bersamaan datang air larian dari bagian atas catchment area tersebut.
Kemiringan lereng (slope) mempengaruhi perilaku air larian dalam hal timing. Semakin besar kemiringan lereng suatu catchment area, semakin cepat laju air larian, sehingga mempercepat respons catchment area terhadap adanya curah hujan. Kondisi kelas lereng di daerah hilir yang datar hingga landai, dan hulu yang agak curam hingga sangat curam menyebabkan air larian dari hulu begitu tinggi, sehingga waktu yang dibutuhkan oleh air hujan untuk menuju hilir lebih pendek.
Kondisi kemiringan lereng pada catchment area sungai Tondano memiliki kelerengan yang relatif landai. Sama halnya dengan kondisi kelerengan pada catchment area sungai Tondano, kondisi kelerengan di Bailang memiliki kelerengan yang landai dengan jarak lereng yang datar.
Pada catchment area sungai Tondano, panjang sungai utama adalah ±13.286,39 m dan anak sungainya ±229.085,84 m. Kerapatan sungai dapat dihitung sebesar 0,66 km/km2. Pada catchment area sungai Bailang, panjang sungainya adalah 28.131,47 m, kerapatan sungainya adalah sebesr 0,39 km/km2.
Adanya sedimentasi pada sungai menyebabkan kapasitas atau volume air yang tertampung menjadi berkurang. Apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi, sungai akan mengalami peluapan, sehingga menimbulkan banjir. Data 14 tahun (1985-1998) menunjukkan puncak-puncak muka air maksimum harian terjadi di bulan Februari, Juni dan November (Dinas PU Provinsi Sulawesi Utara, 2000). Pada tanggal 4, 5 dan 6 Februari 1996 pada saat tinggi muka air mencapai +7,04 meter di atas permukaan laut, luas genangan di Kota Manado mencapai 761 ha, terutama di kawasan pemukiman dekat bantaran sungai (Anonimous, 2003).
Dari data muka air danau dan sungai dapat disimpulkan bahwa banjir di hilir bukan akibat pengaruh Danau Tondano, melainkan oleh anak-anak Sungai Tondano. Selain itu, data curah hujan menunjukkan bahwa jumlah curah hujan di wilayah dataran hilir lebih tinggi daripada di hulu sungai. Menurut laporan Proyek Pengembangan Pengairan Sulawesi Utara (1997), banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Tondano, antara Jembatan Kairagi sampai Jembatan Mahakam, mengalami penyempitan muara (bottle neck), sehingga tidak mampu menampung beban banjir maksimum. Dengan demikian, masalah debit banjir di kawasan DAS Tondano adalah bagaimana melakukan normalisasi (pelebaran dan pengerukan) Sungai Tondano bagian hilir dan anak-anak sungai sepanjang Jembatan Kairagi hingga Jembatan Mahakam.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Banjir yang terjadi di sebahagian kota Manado lebih tepat dikatakan peristiwa genangan yang merupakan peristiwa bencana alam disebabkan oleh pemicu utamanya adalah kontribusi intensitas hujan yang tinggi, kapasitas sungai yang tidak mampu berperan sesuai fungsinya..
2. Peristiwa genangan yang terjadi di kota Manado disebabkan pengaruh sisem drainase perkotaan, dan factor lainnya sebagai pendukung peristiwa tersebut yaitu bentuk catchment area dan luasannya, topografi, tanah, curah hujan, kondisi sungai ( kerapatan sungai, sedimentasi), elevasi daerah banjir, penutupan lahan, lahan kritis, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
3. Menangani masalah debit banjir di kawasan DAS Tondano adalah bagaimana melakukan normalisasi (mempertahankan lebar dan pengerukan) Sungai Tondano bagian hilir dan anak-anak sungai yang masuk ke kota Manado.

B. Saran
Masih perlu dilakukan kajian yang lebih dalam tentang peristiwa genangan yang terjadi di sebahagian kota Manado yang telah banyak menelan korban, baik harta maupun nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _, 2003. Review Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai Tondano. Balai Pengelolaan Das Tondano. Manado
_ _ _ _ _ _ _, 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehanilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Ttalawaan. Balai Pengelolaan DAS Tondano. Manado
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _, 2004. Banjir Setinggi Dua Meter Melanda Manado. Tempo Interaktif.com
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _, 2005. Banjir besar intai Manado. Komentar Online. Manado
……………………………, 2008 Ratusan Korban Banjir manado Masih Duduki Sekolah. Antara News.
BPDAS Tondano, 2005. Sekilas Tentang Kejadian Banjir Kota Manado . Manado
Sri Margianto TD, 2002. Penganan Fisik Penanggulangan Banjir. Alami Jurnal Air.Lingkungan dan Mitigasi Bencana Vol.7 Jakarta.
Data Penulis
La Ode Asir Tira, lahir di Makassar pada tanggal 6 Juli 1958, Lulus S1 Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia, Tahun 2005 – 2007 mengambil Program Magister di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sejak tahun 1978 s/d 1994 bekerja di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Tahun 1995 s/d 2006 bekerja di Balai Teknologi Pengelolaan DAS IBT di Makassar. Tahun 2006 s/d sekarang bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Manado sebagai Peneliti Muda bidang Konservasi Tanah dan Hidrologi pada Kelti Pelestarian Sumberdaya Hutan.